Skip ke Konten

Bidan dan Doula : Bedakan Peran, Hormati Batas, Pahami Legalitas

26 Juni 2025 oleh
Bidan dan Doula : Bedakan Peran, Hormati Batas, Pahami Legalitas
Bidan Nova
| 1 Komentar


🌿 Apa Itu Doula? Bukan Bidan, Tapi Hadir Sepenuh Jiwa

Istilah doula berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti "perempuan yang melayani." Dalam konteks modern, doula adalah seseorang yang mendampingi ibu secara non-medis selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas, dengan fokus pada dukungan emosional, fisik, dan informasi.

Peran doula pertama kali mendapat perhatian luas pada tahun 1970-an di Amerika Serikat, seiring dengan gerakan kelahiran alami (natural childbirth movement). Beberapa riset termasuk Cochrane Review (Bohren et al., 2017) membuktikan bahwa kehadiran doula selama persalinan bisa:

  • Mengurangi lama persalinan
  • Mengurangi kebutuhan intervensi medis (seperti induksi atau operasi sesar)
  • Meningkatkan kepuasan pengalaman melahirkan

Namun penting digarisbawahi:

  • Doula bukan tenaga kesehatan.
  • Doula tidak melakukan tindakan medis apapun tidak periksa dalam, tidak memantau janin, tidak mengambil keputusan klinis.

Untuk menjadi doula profesional, seseorang harus mengikuti pelatihan dan sertifikasi resmi, biasanya dari lembaga internasional seperti DONA International, CAPPA, atau Childbirth International. Di Indonesia, belum ada regulasi nasional yang mengatur profesi doula secara spesifik, namun komunitas doula lokal tetap berpegang pada etika internasional tersebut.

Penggunaan nama doula untuk keperluan branding oleh bidan dan kemudian dijadikan sebagai layanan berbayar tidak dibenarkan, karena secara legal, istilah doula telah memiliki pemegang hak serta organisasi yang menaunginya. Jika seseorang ingin menggunakan nama tersebut dalam praktik profesional, maka ia wajib menjadi bagian dari organisasi resmi doula, mengikuti pelatihan khusus, serta tunduk pada kode etik dan standar praktik yang berlaku secara global.

Hal ini mirip dengan praktik mengajar yoga prenatal. Seseorang tidak bisa begitu saja memberikan kelas yoga untuk ibu hamil tanpa pelatihan dan sertifikasi resmi. Sertifikat ini menjadi bukti kompetensi dan kelayakan profesional dalam memberikan layanan yang aman dan bertanggung jawab.

Referensi:

Bohren, M. A., et al. (2017). Continuous support for women during childbirth. Cochrane Database of Systematic Reviews, (7), CD003766. https://doi.org/10.1002/14651858.CD003766.pub6

WHO (2016). Intrapartum care for a positive childbirth experience. World Health Organization. https://www.who.int/publications/i/item/9789241550215


🌿 Siapa Saja yang Bisa Menjadi Doula?

Doula bisa berasal dari berbagai latar belakang profesi, selama memiliki komitmen untuk mendampingi ibu secara non-medis. Mereka bisa:

  • Ibu rumah tangga yang pernah mengalami persalinan dan ingin mendukung perempuan lain
  • Praktisi yoga atau terapis tubuh yang memahami anatomi dan kebutuhan emosional
  • Psikolog atau konselor yang tertarik mendampingi proses kelahiran secara emosional
  • Bidan atau perawat atau tenaga medis yang memilih berperan sebagai pendamping non-medis dengan pelatihan khusus

Yang terpenting, seorang calon doula harus mengikuti pelatihan doula resmi dan memahami batas praktiknya—tidak melakukan intervensi medis, serta mengedepankan empati, kehadiran penuh, dan pemahaman mendalam tentang proses kelahiran.


🌿 Lalu, Bidan Itu Apa? Apakah Juga Doula?

Bidan adalah tenaga kesehatan profesional yang memiliki kewenangan untuk:

  • Melakukan pemeriksaan kehamilan
  • Memberikan asuhan persalinan
  • Melakukan tindakan medis seperti periksa dalam, pemantauan janin, pemberian rujukan jika ada komplikasi

Bidan memang dikenal sebagai Pendamping persalinan. Namun berbeda dengan doula, kehadiran bidan tidak selalu bersifat kontinu secara emosional. Fokus utama bidan adalah pada keselamatan ibu dan bayi secara medis. Di sisi lain, doula hadir sebagai “penjaga ruang/Space Holding” yang menenangkan, memeluk dengan kata, dan menyaksikan proses dengan penuh kesadaran.

Seorang doula hadir secara penuh untuk mendampingi ibu, menyediakan dukungan emosional, fisik, dan spiritual tanpa melakukan tindakan medis apapun, termasuk pemeriksaan dalam, pemantauan janin, atau pemberian intervensi. Kehadiran doula bersifat terus-menerus (continuous presence) dari fase awal persalinan hingga pasca persalinan awal, dengan fokus pada comfort measures, breathing support, touch, positioning, dan emotional holding.

Sebaliknya, jika seorang bidan mendampingi proses persalinan dan melakukan tindakan medis seperti pemeriksaan dalam, pemantauan denyut jantung janin, atau intervensi lain maka itu bukan peran doula, tetapi Peran Profesional Bidan, meskipun secara niat ia sedang "menemani." Bahkan, dalam praktiknya, bidan sering kali tidak dapat hadir secara penuh karena juga harus fokus pada aspek medis dan tanggung jawab profesional lainnya.

Referensi:

Ministry of Health Republic of Indonesia. (2017). Regulasi Praktik Kebidanan di Indonesia (Permenkes No. 28 Tahun 2017).

National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2014). Intrapartum care: care of healthy women and their babies during childbirth. NICE guideline (CG190).


🌿 Bolehkah Bidan Mengaku Sebagai Doula?

Jawabannya: tidak etis jika tidak melalui jalur pelatihan resmi.

Pertanyaan ini kerap muncul, dan jawabannya membutuhkan kejujuran etik. Jika bidan menyebut dirinya doula namun tetap melakukan tindakan medis dan menerima pasien sebagai klien kebidanan, maka ia bukan doula dalam definisi global.

Jika seorang bidan ingin menyebut dirinya doula, ia harus:

  • Mengikuti pelatihan doula secara formal
  • Tidak melakukan tindakan medis selama mendampingi sebagai doula
  • Menjadi doula berarti melepas identitas klinis selama mendampingi persalinan
  • Mendampingi klien atas dasar kontrak non-medis dan bukan dalam kapasitas bidan praktik

Doula tidak bertanggung jawab secara medis, tidak memutuskan tindakan, dan tidak memegang alat-alat medis.

Menggunakan istilah "doula" sebagai bagian dari branding layanan tanpa melalui pelatihan dan sertifikasi dapat dianggap sebagai penyesatan informasi, dan berpotensi melanggar etik profesional. Ini seperti seseorang mengaku "guru yoga prenatal" tanpa pelatihan yoga untuk ibu hamil.

Sebaliknya, jika seorang bidan menyebut dirinya sebagai "pendamping persalinan" tanpa menyebut "doula", itu diperbolehkan selama tidak mengambil istilah profesi lain. Misalnya: ✔ "Saya bidan yang memberikan asuhan menyeluruh dengan pendekatan Holistik."

❌ "Saya bidan doula," tanpa sertifikasi karena ini membingungkan klien dan mencampuradukkan peran.


Referensi:

Donnison, S. (2012). A History of Midwifery in the United Kingdom. Routledge.

Doula International. (2020). Ethics and Practices in the Doula Community. https://www.doulainternational.org/ethics


🌿 Jika Bidan Sudah Sertifikasi Doula: Bagaimana Memposisikan Diri?

Jika seorang bidan telah mengikuti pelatihan doula dan memperoleh sertifikasi resmi, maka ia tetap perlu membedakan secara jelas perannya dalam praktik. Ketika memberikan dukungan non-medis, ia bisa bertindak sebagai doula, selama tidak melakukan tindakan klinis dan telah bersepakat dengan klien serta fasilitas layanan.

Namun, jika ia melakukan tindakan medis (meski ringan), maka ia sudah masuk ke peran bidan. Transparansi ini penting untuk menjaga profesionalisme dan mencegah konflik etik maupun hukum. Di beberapa negara, bahkan harus ada penandaan identitas ganda: “Saya hadir sebagai doula bersertifikat, bukan sebagai bidan.”

Posisi ini sering disebut sebagai "bidan berjiwa doula"yakni bidan yang tetap menjalankan peran medisnya, tetapi membawa sensitivitas, empati, kehadiran penuh, dan prinsip gentle support yang khas doula. Ini adalah pendekatan kolaboratif dan humanis dalam asuhan kebidanan.

Bidan dengan sertifikasi doula bisa sangat efektif dalam:

  • Memberikan edukasi kehamilan berbasis gentle birth
  • Memfasilitasi kelas persiapan melahirkan yang utuh: medis dan emosional
  • Menyediakan peran ganda (dengan transparansi): sebagai tenaga klinis dan sebagai pendamping psiko-emosional

Kuncinya adalah: komunikasi jujur dengan klien, kejelasan peran, serta menghormati batas etika dan hukum masing-masing profesi.

🌿 Refleksi untuk Pendidikan Kebidanan: Apa yang Belum Diajarkan?

Sebagai Bidan yang baru saja menyelesaikan Pendidikan Porfesi Bidan, saya ingin mengajak kita semua untuk merenung dan bertanya jujur: Jika bidan Berperan sebagai pendamping persalinan, Apakah dalam kurikulum pendidikan bidan saat ini sudah diajarkan keterampilan pendampingan non-medis yang mendalam dan penuh seperti yang dilakukan doula? Apakah calon bidan dibekali kemampuan untuk holding space, continuous Presence, mindful presence, compassionate touch, serta pemahaman mendalam tentang kebutuhan emosional dan spiritual perempuan saat melahirkan? Dengan Fokus pada Comfort Measure dan Emosional Holding?

Jika belum, maka ini adalah celah yang bisa diisi melalui kolaborasi profesional yang saling menghormati peran. Doula bukan pesaing bidan, dan bidan bukan pengganti doula. Masing-masing memiliki ranah praktik yang jelas dan penting bagi kualitas pengalaman melahirkan ibu.


🌿 Bagaimana dengan Doula Non-Nakes? Apakah Mereka Layak Menjadi Educator Kehamilan dan Persalinan ?

Pertanyaan mengenai kelayakan doula non-nakes (misalnya ibu rumah tangga atau individu tanpa latar belakang medis) sebagai educator kehamilan dan persalinan kerap menimbulkan pro-kontra. Untuk menjawabnya secara berimbang, mari kita telaah dari beberapa sudut pandang berikut:

1. Aspek Legalitas di Indonesia

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi nasional yang secara spesifik mengatur peran dan batas kerja doula, terlebih jika doula berasal dari luar profesi kesehatan. Dalam UU No. 4 Tahun 2019 tentang Praktik Kebidanan, edukasi kehamilan dan persalinan secara medis hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan berizin bidan, dokter, dan perawat.

Artinya, doula non-nakes tidak boleh memberikan edukasi medis, seperti cara mengejan, evaluasi tanda bahaya, atau posisi janin. Namun mereka masih bisa berbagi informasi non-medis berbasis pengalaman, seperti cara mengelola rasa takut, teknik relaksasi umum, atau membangun dukungan sosial.

2. Etika Profesional Global

Berdasarkan pedoman organisasi seperti DONA International dan CAPPA:

  • Doula boleh berasal dari latar belakang apa pun (ibu rumah tangga, aktivis, konselor, dsb), asalkan mengikuti pelatihan doula resmi dan paham batas perannya.
  • Doula tidak boleh menggantikan peran tenaga kesehatan, dan harus selalu merujuk klien ke profesional medis untuk pertanyaan klinis.

3. Praktik di Lapangan

Secara praktik, banyak doula non-nakes yang berhasil membangun komunitas dan kelas pendampingan berbasis pengalaman personal. Di negara seperti AS, Kanada, dan Inggris, mereka menjadi fasilitator kelas persiapan melahirkan non-medis mengajarkan mindful birth, birth storytelling, dan dukungan emosional untuk ibu.

Namun, di Indonesia, jika doula non-nakes:

  • Menyelenggarakan kelas berbayar,
  • Mengajarkan teknik-teknik klinis seperti pijat induksi, napas saat mengejan, atau posisi untuk membuka jalan lahir,
  • Menggunakan istilah "edukator persalinan" secara eksplisit tanpa izin atau latar belakang kesehatan,
  • maka hal tersebut sudah menyalahi batas profesional dan berpotensi membahayakan ibu jika tidak dilandasi pengetahuan medis yang memadai.

Kesimpulan:

Doula non-nakes bisa berperan sebagai: 

  • Fasilitator kelas persiapan non-medis
  • Pendamping emosional dan spiritual
  • Narasumber berbasis pengalaman pribadi

Namun mereka tidak bisa menggantikan peran tenaga kesehatan dalam memberi edukasi medis maupun keputusan klinis. Sehingga Jika ada kelas yang membahas tips persalinan yang dilakuakn doula harus bekerja sama dengan bidan.

Referensi:

DONA International Code of Ethics: https://www.dona.org/the-dona-advantage/code-of-ethics/

CAPPA Scope of Practice: https://www.cappa.net/about/scope-of-practice/

WHO (2018). Intrapartum care for a positive childbirth experience

UU No. 4 Tahun 2019 tentang Praktik Kebidanan

Foster, R. (2017). Doulaing the Doula: Role Identity in Peer Support Work. Qualitative Health Research.


📌 Doula Tidak Bisa “Gantiin” Bidan

Beberapa kasus menunjukkan adanya praktik yang tidak etis misalnya, doula memberi saran medis, menstimulasi puting untuk induksi alami, atau bahkan memandu ibu mengejan tanpa kehadiran bidan atau tenaga medis. Ini jelas melewati batas kompetensi dan bisa membahayakan keselamatan ibu dan bayi.

Di sisi lain, ada pula bidan yang merasa “terancam” oleh kehadiran doula, apalagi jika doula menjadi lebih disukai oleh klien. Padahal seharusnya bukan begitu cara melihatnya.

Keduanya bisa bersinergi jika memahami batas dan saling menghargai peran.


⚖️ Legalitas: Di Mana Doula Berdiri?

Saat ini, sekali lagi doula belum diatur dalam peraturan resmi kesehatan di Indonesia. Karena itu, posisi hukum doula masih abu-abu. Bidan sebagai tenaga kesehatan memiliki lisensi praktik yang diatur oleh UU Tenaga Kesehatan dan UU Kebidanan, termasuk kode etik serta kewajiban mempertanggungjawabkan tindakan klinis. Jika terjadi komplikasi saat praktik, bidan akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Sebaliknya, doula tidak memiliki tanggung jawab klinis karena memang tidak boleh melakukan intervensi medis. Tapi bukan berarti doula bebas dari tanggung jawab. Bila doula bertindak di luar kapasitasnya dan menyebabkan dampak negatif, bisa dikenai sanksi hukum sesuai perundang-undangan perlindungan konsumen atau pidana umum.

Oleh karena itu, sangat penting bagi doula dan bidan untuk memahami:

  • Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan
  • Bagaimana menjelaskan peran kepada klien secara transparan
  • Etika kerja sama yang profesional


🌿 Studi Kasus: Ketika Bidan Tanpa Izin Praktik Mendampingi di Fasilitas Lain

Bayangkan kasus ini:

Seorang bidan belum memiliki izin praktik mandiri, tidak terdaftar di fasilitas tertentu, namun datang ke rumah sakit dan mengaku sebagai bidan pendamping untuk pasien yang hendak melahirkan. Ia tidak bertugas di rumah sakit tersebut, tidak memiliki afiliasi, namun menyertai pasiennya masuk ruang bersalin dan memberi instruksi serta menyentuh pasien secara langsung.

Dalam konteks hukum Indonesia, hal ini berisiko melanggar regulasi.

Menurut Permenkes No. 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, serta UU Praktik Kebidanan No. 4 Tahun 2019, seorang bidan hanya boleh:

Memberikan layanan kebidanan di tempat ia memiliki surat izin praktik (SIPB)

Berpraktik di fasilitas yang mengizinkan dan mencatat kehadirannya

Jika bidan memasuki rumah sakit tanpa izin resmi atau surat tugas, dan melakukan intervensi medis (meskipun hanya mendampingi), maka ia berada di luar kewenangan hukum, dan rumah sakit berhak menolak atau melaporkan tindakan tersebut. Dalam sistem yang lebih maju seperti di Inggris dan Australia, kehadiran pendamping dari luar harus mendapatkan otorisasi tertulis dan identifikasi peran yang jelas agar tidak menyalahi batas tanggung jawab klinis.


🌿 Bandingkan dengan Luar Negeri

Di beberapa negara seperti Inggris, Australia, dan Kanada, regulasi profesi sangat ketat namun juga mendukung kolaborasi. Misalnya: 

Di Inggris, pendamping persalinan non-nakes seperti doula hanya boleh masuk ruang bersalin jika mendapatkan izin dari rumah sakit dan klien sudah menyatakan persetujuannya secara tertulis. Mereka tidak boleh menyebut diri tenaga kesehatan, dan dilarang melakukan tindakan apa pun yang bersifat klinis.

Di Australia, doula harus menandatangani kontrak persetujuan peran dan kehadiran, serta berada di bawah pengawasan tenaga kesehatan di fasilitas.

Di Kanada, beberapa provinsi telah mengembangkan sistem kolaboratif antara doula dan bidan, di mana peran masing-masing diatur dalam kode etik, tanpa saling tumpang tindih.

Keunggulan negara-negara ini adalah adanya pembagian tugas yang jelas, sehingga doula, bidan, dan dokter bisa bekerja berdampingan tanpa kebingungan peran.

Referensi:

-NHS UK (2020). Guidance on Doulas in Maternity Services

-Australian Doula College. (2021). Scope and Standards of Practice

-Canadian Doula Association. (2022). Doula Role & Ethics Bandingkan dengan Luar Negeri.


🌿 Refleksi: Titik Balik dalam Memahami Doula dan Peran Bidan

Saya ingin mengakui satu hal penting dari perjalanan ini: dahulu, saya pernah berpikir pendek mengira bahwa doula dan bidan adalah peran yang bisa dengan mudah disamakan, bahkan saling menggantikan. Saat itu, saya belum benar-benar memahami secara mendalam siapa sebenarnya doula dan bagaimana seharusnya posisi mereka dihormati dalam ruang kelahiran.

Namun, titik balik datang ketika saya diberi kesempatan untuk belajar langsung di Eat Pray Doula bersama DONA International. Di sana, untuk pertama kalinya saya menyelami filosofi doula dari akarnya. Saya belajar tentang makna kehadiran penuh (continuous presence), kekuatan ketenangan tanpa intervensi, dan nilaai dari ruang emosional yang dijaga dengan penuh cinta oleh seorang doula selama proses persalinan.

Sebagai seorang bidan, saya merasa sangat beruntung bisa belajar di ruang ini. Bukan hanya karena saya mendapatkan ilmu dan wawasan baru, tapi karena saya akhirnya melihat celah yang selama ini luput dari pandangan saya. Saya memahami batas antara membantu dan mengintervensi, antara hadir sebagai penyelamat dan hadir sebagai penjaga ruang. Saya belajar bahwa menghormati peran doula berarti juga merefleksikan ulang cara kita sebagai bidan hadir di ruang kelahiran dengan lebih mindful, empatik, dan lembut.

Di momen itu saya menyadari bahwa untuk benar-benar memahami sesuatu, kita harus bersedia mengosongkan gelas melepaskan asumsi, ego, dan label yang melekat, agar bisa menerima pemahaman baru dengan jernih. Yang saya lakukan adalah mencari titik terang dari kebenaran yang valid, menggali dari sumber yang tepat, dan mengalami langsung pembelajarannya sebelum akhirnya mengambil kesimpulan atau penilaian.

Dan kini, posisi saya bukan hanya sebagai seorang bidan, tetapi juga seorang yang memiliki kemanpuan pendampingan Kelahiran seperti doula. Saya hadir dengan peran ganda yang terintegrasi, namun tetap menyadari batas dan keunikan masing-masing peran. Ketika saya bertugas sebagai bidan, saya berpegang pada ilmu dan tanggung jawab medis saya. Ketika saya mendampingi sebagai doula, saya hadir sebagai penjaga rasa, ruang, dan kepercayaan ibu melepaskan sementara identitas saya sebagai seorang bidan terutama saat saya bekerja melayani Ibu Bersalin di Fasilitas Kesehatan lain, selain praktek mandiri saya.

Refleksi ini sesungguhnya juga telah saya tuangkan dalam buku pertama saya, Smooth Landing Delivery: Rahasia Bersalin Nyaman Merdeka Robekan, khususnya pada bagian Birthkeeper: Peran Bidan dalam Pendampingan Persalinan. Di situ, saya menjelaskan bagaimana dalam praktik mandiri saya, untuk menjaga kualitas pendampingan sekaligus mencegah kelelahan bidan, saya membentuk tiga tim bidan dalam satu proses kelahiran:

  • Tim 1 Bidan Pendamping Persalinan: Bertugas menjiwai peran doula, fokus pada dukungan emosional dan keberadaan penuh untuk ibu tanpa intervensi medis.
  • Tim 2 Bidan Penolong Persalinan: Berperan sebagai profesional medis yang melakukan pemeriksaan dan memastikan keselamatan ibu dan bayi.
  • Tim 3 Bidan Pendamping Proses Menyusui: Mendampingi ibu dan bayi pada fase awal menyusui dan adaptasi pasca persalinan.

Saat proses persalinan berlangsung, Tim 2 (dua orang bidan) akan bergabung dengan Tim 3, yaitu tim bidan pendamping menyusui, sementara Tim 1 tetap bersama ibu dari awal hingga akhir. Ketiga tim ini akan bergantian peran (rolling) pada persalinan berikutnya. Pendekatan ini saya rancang agar setiap ibu mendapatkan pengalaman melahirkan yang utuh dengan rasa didampingi, diperhatikan, dan dihormati secara menyeluruh. Hasilnya, ibu hamil, bersalin, dan menyusui memiliki pengalaman yang positif sepanjang proses ini—dan inilah yang menjadi inti dari rekomendasi WHO dalam dokumen Intrapartum Care for a Positive Childbirth Experience (2018).

🤝 Penutup: Kolaborasi, Bukan Pencampuran Peran

Dalam dunia yang semakin sadar akan pentingnya pengalaman melahirkan yang positif, kolaborasi antara bidan dan doula adalah aset besar. Keduanya bisa dan seharusnya saling melengkapi, namun tidak boleh disamakan atau disilangkan tanpa batas yang jelas dan kolaborasi tidak berarti pencampuran peran.

Bidan tetaplah tenaga kesehatan dengan kewenangan medis. Doula tetaplah pendamping non-medis dengan peran emosional dan spiritual. Bila keduanya saling memahami batas dan keahlian masing-masing, ibu yang melahirkanlah yang akan paling diuntungkan.

Mari kita jujur terhadap peran, adil terhadap kompetensi, dan transparan terhadap klien.

Dengan memahami batas, kita bukan hanya menjaga kehormatan profesi, tapi juga menjaga kepercayaan para ibu yang kita damping karena di ruang kelahiran, yang paling utama adalah keselamatan dan rasa dihargai.

Penting untuk menjaga kejelasan identitas profesional, agar tidak terjadi tumpang tindih yang merugikan klien, menyalahi etika, atau bahkan melanggar hukum. Dengan saling menghormati, baik bidan maupun doula dapat menciptakan ruang lahir yang aman, penuh cinta, dan bermakna.

di dalam Artikel
Masuk untuk meninggalkan komentar